Kamis, 15 Januari 2009 | 22:46 WIB
JAKARTA, KAMIS - Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan keragaman budayanya. Kita masing-masing perlu melestarikan, mengembangkan budaya komunitas untuk memperkaya kebudayaan nasional. Seni budaya harus disertai sikap dan orientasi budaya. Sikap budaya masih merupakan tantangan. Maju atau tidak, atau ketinggalan atau tidak, sikap budaya ini sangat menentukan.
Demikian pemikiran yang mengemuka ketika Pemerhati Masalah Kebangsaan Siswono Yudo Husodo dan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama menyampaikan sambutan pada pembukaan Pameran Warisan Tinghoa Peranakan, Kamis (15/1) malam di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Siswono Yudo Husodo mengatakan, masyarakat Tinghoa sudah datang ke Indonesia sejak 1000 tahun lebih. Mereka yang datang tidak homogen. Mereka datang dari suku, bahasa, dan budaya yang beragam. Karena yang datang beragam dan yang didatangi juga beragam, maka akulturasi yang terjadi di situ menghasilkan kebudayaan Tionghoa peranakan yang beragam. Akulturasi antara pendatang Tionghoa dengan masyarakat setempat dalam varian kehidupan yang sangat luas.
Betapa kayanya bangsa ini. Mengindonesia belum selesai. Kita masih dalam taraf test case membentuk bangsa kita. Karena memang luar biasa, hampir tidak ada teori yang membenarkan bangsa yang beragam i ni bisa mengaku satu bangsa. Berbeda dengan bangsa Jerman, yang menyatu karena satu bahasa. Begitu juga Inggris, Perancis, Spanyol, dan bangsa Italia menjadi satu kerana kesamaan bahasa. Atau Malaysia, Singapura, dan Srilanka karena kesamaan kontinen daratan, katanya.
Menurut Siswono, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kebudayaan Tinghoa yang datang ke Indonesia telah ikut memperkaya kebudayaan nasional kita. Dan sebaliknya, kebudayaan lokal ikut memperkaya kebudayaan para pendatang itu. Sehingga dengan demikian, ciri-ciri kebudayaan Tinghoa peranakan di Indonesia jauh lebih kaya dari budaya Tinghoa perantauan Tionghoa peranakan di Singapura dan Malaysia.
Sementara menurut Jakob Oetama, kekayaan budaya Indonesia yang beragam itu, sekaligus menegaskan bahwa B hineka Tunggal Ika tetap aktual dalam perubahan zaman. Indonesia akan tetap Bhineka Tunggal Ika.
Malam ini (Pameran Budaya Tinghoa Peranakan) luar biasa. Bagi saya, asosiasi (Komunitas Lintas Budaya Indonesia) yang spontan itu Bhineka Tunggal Ika, katanya.
Menurut Jakob, seni budaya harus disertai sikap dan orientasi budaya, yaitu nilai-nilai sikap hidup yang bisa mengembangkan bukan saja seni budaya tetapi juga sumber kekayaan alam, untuk kesejahteraan. Seni budaya sangat oke, tinggal memelihara. Sikap budaya, lanjutnya, masih merupakan tantangan. Maju atau tidak, atau ketinggalan atau tidak, sikap budaya ini, sangat menentukan.
Buku dan pemuratan film
Pameran yang digelar Bentara Budaya Jakarta bekerjasama dengan Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan didukung sejumlah sponsor ini, untuk pertama kali di Indonesia menampilkan artefak perabotan dan asesoris rumah tangga Tionghoa peranakan, yang digunakan di bumi Indonesia antara rentang tahun 1850-1960.
Pada acara pembukaan yang dihadiri ratusan pengunjung, juga diluncurkan buku Peranan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya, yang diterbitkan bersama Komunitas Lintas Budaya Indonesia dengan majalah Intisari.
Pameran berlangsung hingga 25 Januari 2009. Selama pameran berlangsung, akan ada pemutaran film-film dan seminar mengenai masalah budaya/akulturasi Tionghoa peranakan di Indonesia. Pada Jumat (16/1), BBJ akan memutar film Ca-Bau-Kan (pukul 17.00 WIB) dan May (Pukul 19.00 WIB). Sedangkan hari Sabtu (17/1) diputar film Anak Naga Beranak Naga/The Anniversaries/Suhiharti Halim/Cheng Cheng Po (pukul 17.00 WIB), dan Babi Buta yang Ingin Terbang ( pukul 19.00 WIB).
05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar