05 November 2009

Bir pletok


Bir pletok adalah minuman penyegar yang dibuat dari campuran beberapa rempah-rempah, yaitu jahe, daun pandan wangi, dan serai. Minuman tradisional ini dikenal di kalangan etnis Betawi. Agar warnanya lebih menarik, orang Betawi biasanya menggunakan tambahan kayu secang, yang akan memberikan warna merah bila diseduh dengan air panas.

Walaupun mengandung kata bir, bir pletok tidak mengandung alkohol.

Gurihnya Kerak Telor


Siapa tak kenal makanan khas Betawi bernama kerak telor. Makanan lezat warisan budaya Betawi tempo dulu ini memang sudah agak sulit ditemukan karena sudah berada di tepi zaman. Kalaupun ada, biasanya dijual di acara Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang penyelenggaraannya hanya setahun sekali.

Namun, tidak perlu menunggu setiap tahun di PRJ untuk menikmati kerak telor karena sekarang pedagang kerak telor mudah dijumpai di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Tak kurang dari sepuluh pedagang kerak telor biasa mangkal dekat danau yang teduh. Sedikit tips, lebih terasa jika menikmati kerok telor saat baru diangkat. Dengan ditemani kopi pahit, rasa kerak telor yang baru diangkat lebih menggugah.

Salah satu nama pedagang kerak telor yang cukup populer di tempat itu adalah Bakri yang menekuni profesinya sejak sepuluh tahun terakhir. Lelaki asli Betawi kelahiran Buncit, Mampang Prapatan, ini adalah satu dari sedikit penjual kerak telor yang memang mewarisi keahlian orangtuanya secara turun-temurun.

Kerak telor buatan Bakri terkenal sangat enak karena menurutnya ia selalu menjaga resep asli yang diwariskan orangtuanya kepada dirinya. Bakri menuturkan, membuat kerak telor terbilang gampang-gampang susah karena butuh keahlian dan ketepatan mengombinasikan sejumlah bumbu menjadi satu. Sebab, salah sedikit menaruh takaran bumbu, bisa dipastikan rasa kerak telor menjadi tak karuan dan mengakibatkan pelanggan kabur.

“Kerak telor aslinye buatan Betawi Mampang. Orangtua saya menggeluti profesi sebagai pedagang kerak telor karena diwarisi kakek saya yang juga asli Mampang. Saya sendiri sebagai generasi ketiga dari pembuat kerak telor yang memang asli Betawi. Karena itu, resep yang saya gunakan masih resep lama yang tetap terjaga keaslian dan kualitas rasanya,” katanya mantap.

Untuk membuat kerak telor yang enak, bahan-bahan yang harus disiapkan cukup mudah. Lada, garam, bawang goreng, serundeng giling, kelapa gongseng yang diberi kunyit, dan ebi (udang kecil yang dikeringkan) dimasukkan menjadi satu bersama beras ketan yang dimasak lebih dulu.

Memasaknya pun cukup unik karena beras ketan yang dimasukkan terlebih dahulu dimasak hingga kering tanpa menggunakan minyak sayur. Setelah mengering dan menjadi kerak, penggorengan dibalik dan beras ketan dihadapkan langsung dengan bara api pada tungku pembakaran sehingga menghasilkan paduan rasa yang eksotik karena rasa kerak telor menyatu dengan aroma asap yang berasal dari arang.

“Kalau kerak telor buatan saya udah kesohor (terkenal), mangkenye pengunjung yang sering ke Setu Babakan pade kenal saya. Kerak telor buatan saya beda dengan yang laen karena beberapa pedagang kerak telor yang ada sekarang bukan semuanya orang Betawi. Makanya kalau kerak telor buatan saya kagak enak, kagak usaha dibayar,” ujarnya berpromosi.

Untuk kerak telor yang bahan dasarnya telor ayam, dia biasa membanderol Rp 7.000, sedangkan untuk kerak telor yang bahan dasarnya telor bebek biasa dijual Rp 9.000, dan bisa dibuat hanya dengan membutuhkan waktu lima menit. Kalau sedang mujur, sehari Bakri bisa menghabiskan 50 telor.

Karena rasanya yang enak, tak heran penikmat kerak telor buatannya tidak hanya orang Betawi saja, tapi pendatang pun menyukainya. Salah satunya adalah Yanuar. Lelaki paruh baya asli Jawa Barat ini terbilang penggemar berat kerak telor. Untuk memuaskan hasratnya yang membuncah di lidah, dua minggu sekali dia pasti membeli kerak telor untuk dimakan bersama keluarga.

“Rasanya khas banget, dan aroma asapnya bikin kita ketagihan. Kalau mau lebih enak, makannya saat kerak telor masih hangat karena asapnya masih mengepul dan membuat selera makan kita langsung bangkit,” sarannya.

Rasa kerak telor yang enak membuat Bakri juga sering diundang untuk memamerkan keahliannya di acara festival makanan khas daerah ataupun sekadar mengisi hidangan di acara pernikahan. Tertarik mencoba? *

soto betawi










Sebagai makanan khas Jakarta, soto betawi memang telah menjadi salah satu santapan yang disukai. Kuah santan yang putih dan potongan daging empuk disajikan panas, sangat cocok untuk bersantap di musim hujan dan udara dingin.

“Ondel-ondel”

Ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat di Jakarta dan sekitarnya, yang dewasa ini menjadi wilayah Betawi. Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon disebut Barongan Buncis dan di Bali disebut Barong Landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya denganbekakakdalam upacarapotong bekakakdigunung gamping disebelah selatan kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan sapar setiap tahun.

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5M, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk,”dukkata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot.

Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki mukanya bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-perayaan umum seperti ulang tahun hari jadi kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah.

Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombonganBeringin Saktipimpinan Duloh (alm), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, kalideres


Disamping untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru Masehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen.Pendukung utama kesenian ondel-ondel petani yang termasukabangan”, khususnya yang terdapat di daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.

Pembuatan ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik waktu membentuk kedoknya demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu. Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disediakan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti di bakari kemenyan. Demikian pula ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantias diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebutUkupataungukup”.

TARI COKEK BETAWI

Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Barangkali memang kurang afdol jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain menari juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.

Sayang sekali dalam bukuIkhtisar Kesenian Betawiedisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.

Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu, ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu, sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu bersedia menari maka mereka pun mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan, dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan mereka.

Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus menerus.

Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala, hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu patromaks.


Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.

Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah.

Tanjidor Masihkah Berbunyi ?

Tret.. tetet dhrong tretetet dung…… trek – dung - trekdung……dung……dung………dung

Begitulah sayup-sayup terdengar alunan musik etnis Betawi yang lagi mengiringi arak-arakan pengantin sunat di Ciganjur, pinggiran kota Jakarta. Musik khas etnis Betawi lama yang kebanyakan didukung oleh para musisi berusia senja ini melintasi gang-gang sempit dengan semangat baja. Layaknya serdadu yang mau maju perang. Pemandangan macam ini sangat menghibur dan menyenangkan hati orang yang kebetulan menyaksikan deretan kaum akhir (orangorang tua) yang lagi ngejreng dengan alat musik yang sudah tua pula.

Kendati pun “Tanjidordisebut musik rakyat Betawi, namun instrumennya menggunakan alat musik modern, terutama alat tiup. Seperti trombhon, piston (comet a piston), tenor, klarinet, as, dilengkapi alat musik tabuh membran, yang biasa disebut tambur atau genderang.

Sejak kapan jenis musik etnis ini mulai menggeliat di tanah Betawi ? Dalam bukuIkhtisar Kesenian Betawi”, terbitan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, disebutkan sudah tumbuh sejak abad ke-19. Kegiatan bermusik ini begitu santer dan terus berkembang di pinggiran kota Jakarta. Dalam sejarah perkembangannya, konon jenis musik ini berasal dari orkes yang semula dibina dalam lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, tak jauh dari Cibinong, pinggiran Jakarta.

Selaras dengan pergeseran zaman, sebagian besar alat musik yang hingga kini masih digunakan termasuk kategori instrumen yang sudah usang dan cacat. Barang bekas yang sudah pada peyot dan penyok-penyok ini toh masih bisa berbunyi. Kendati suaranya kadang-kadang melenceng ke kanan dan ke kiri alias fals. Saking tuanya, alat musik tersebut sudah ada yang dipatri, dan ada pula yang diikat dengan kawat agar tidak berantakan. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat penabuhnya yang umumnya juga sudah pada lanjut usia.

Sekali pernah, kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, menyelenggarakan Festival Tanjidor beberapa waktu lalu di DKI, AnjunganTaman Mini Indonesia Indah. Namunpesertanya tidak sampai belasan, menandakan jenis musik ini mulaiberkurang. Menilik sosok perkumpulanmusik tersebut hampir sebagian besarpemusiknya sudah tua renta. Kemungkinanpenyelenggara ingin tahu sejauh manakahperkembangan musik ini dan siapapendukungnya ? Tanjidor, masihkahberbunyi ?

Memang, dibandingkan dengan jenis kesenian Betawi lainnya seperti Musik Rebana, Kasidahan, Lenong, Tari Topeng Betawi dan sejenisnya, boleh dikatakan Tanjidor agak ketingalan. Mat Sani, putra Betawi kelahiran Kramat Pulogundul, dibelakang bioskop Rivoli, Jakarta Pusat, mengatakan, “Anak cucu keturunan Betawi kagak pada mau ngopenin Tanjidor. Maunya pada ngedangdut melulu. Barangkali itu salah satunye yang bikin Tanjidor kagak mau cepat berkembang”, Tapi barangkali juga karena jaman udah banyak berubah, beginilah jadinya. Di kampung saya dulu, ada perkumpulan orkes Tanjidor, Lenong dan Ondel-Ondel Bang Rebo, di Gang Piin Kramat Pulo. Tapi sekarang mah dangdut aje yang digede-gedein”, tambahnya.Tapi nggak tahulah, kemungkinan di wilayah lain masih banyak perkumpulan Tanjidor. Denger-denger sih Tanjidor masih berbunyi. Kebanyakan di pinggiran Jakarta, misalnya di Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, di wilayah Bogor. Lainnya di Tanggerang, dan Bekasi”. Katanya.

Sejak dulu memang, Tanjidor tidak banyak memberi janji sehingga pendukungnya dari tahun ke tahun kian menurun. Selain banyak yang sudah meninggal, pendukungnya sekarang sudah pada uzur. Untuk singgah menjadi seniman orkes Tanjidor memang harus punya bakat di bidang musik modern atau ketrampilan itulah yang membuat orang senang menekuni hobinya. Dari dulu seniman Tanjidor tidak melulu mengandalkan hidup dari musik yang digeluti. Melainkan dari hasil bertani, buruh atau pedagang kecil-kecilan. Bermain musik hanya sebagai sambilan Selain menghibur diri untuk mencari kepuasan batin. Sebab lain kenapa Tanjidor tidak bisa melesat seperti jenis kesenian Betawi lainnya kemungkinan karena fungsi ekonmi Tanjidor lemah. Hidup orkes ini tergantung dari saweran dari penonton. Atau karena ditanggap untuk meramaikan hajatan, sunatan, kawinan dan sebagainya.

Kendati pun keadaan sudah berubah 180 derajat, namun masih ada beberapa perkumpulan Tanjidor di wilayah Jakarta, antara lain tercatat di Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokrangon pimpinan Maun dan di Ceger pimpinan Gejen.

Di zaman kuda gigit besi, orkes Tanjidor membawakan lagu-lagu asing, menurut istilah setempat antara lain laguBatalion”, “Kramton”, “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak Tak”, “Cakranegra”, “Welnes”. Tetapi dalam perkembangannya kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu Betawi, semisal laguSurilang”, “Jali-Jalidan sebagainya. Bahkan selaras dengan perkembangan zaman, orkes Tanjidor sekarang malah lebih asyik membawakan lagu-lagu dangdut. “Yang penting kata Tanjidor harus tetap berbunyikata Kamil Shahab, mantan anggota DPRD DKI Jakarta, yang keturunan Arab kelahiran kampung Batuceper Jakarta Pusat.

Festival Passer Baroe Kembali Digelar

Selasa, 5 Mei 2009 | 16:05 WIB

Jakarta, Kompas.com - Festival Passer Baroe (FPB), dalam rangka menyambut HUT DKI Jakarta, akan kembali digelar. Pesta diskon selama sebulan, 19 Juni - 19 Juli, siap menyambut para pengunjung festival. Acara festival sendiri direncanakan hanya tiga hari, yaitu pada 19-21 Juni.

Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Pusat, Dewi Susanti, mengatakan, untuk memeriahkan festival, sejumlah artis Ibukota seperti Ussy Sulistiawati dan Andhika Indonesian Idol akan tampil mengisi acara. Kesenian dan kebudayaan Betawi seperti gambang kromong juga akan memeriahkan FPB, kata Dewi seperti diberitakan Beritajakarta.com, Selasa (5/5).

Selain itu, festival juga akan menampilkan kesenian barongsai serta beragam perlombaan seperti lomba menangkap bebek serta panjat pinang.

Dalam waktu hampir bersamaan, Sudin Pariwisata Jakarta Pusat juga akan menggelar Festival Jalan Jaksa pada 18-20 Juni. Sementara pada 9 Agustus akan digelar festival layang-layang. Festival Jalan Jaksa akan diisi kegiatan kesenian dan ada program diskon untuk pengunjung yang menginap atau makan di restoran sekitar Jalan Jaksa.

Monas dan Thamrin Jadi Pusat Kegiatan

Jalan Jenderal Sudirman di Minggu pagi adalah tempat olah raga bagi warga Jakarta.

Minggu, 31 Mei 2009 | 08:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Monas dan Jalan MH Thamrin menjadi pusat berbagai kegiatan penting di Jakarta, Minggu (31/5), termasuk di antaranya persiapan peringatan HUT Ke-482 Kota Jakarta.

Menurut data dari Traffic Management Center di website Ditlantas Polda Metro Jakarta Raya, rangkaian perayaan HUT Jakarta akan dilaksanakan pada pukul 06.00 hingga 10.00 yang berpusat di Bundaran Hotel Indonesia.

Selain itu, peringatan Hari Tanpa Tembakau dan kegiatan sepeda ontel yang diperkirakan melibatkan ratusan orang juga meramaikan Silang Monas. Ratusan orang yang berjalan kaki ataupun bersepeda telah memadati Silang Monas.

Car free day menjadi kegiatan rutin lainnya, di mana kendaraan roda empat dan roda dua tidak diperbolehkan melalui Jalan MH Thamrin hingga Jalan Jenderal Sudirman mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 14.00.

Warga Rayakan HUT Jakarta di Taman Fatahillah

Minggu, 22 Juni 2008 20:35 WIB

JAKARTA--MI: Ratusan orang memadati Taman Fatahillah, Jakarta Utara, Minggu malam, menikmati berbagai hiburan dalam acara Batavia Art Festival (BAF) yang digelar untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Jakarta ke-481.

Di depan layar tancap yang terpampang di sisi utara Taman Fatahillah, terlihat puluhan anak muda, orang tua, hingga anak-anak saling berdesakan menyaksikan film Fatahillah (1997).

Mereka menonton dengan cara berdiri, ada yang duduk di lesehan di lantai, ada pula menyaksikan dari jauh dengan cara duduk di atas motor mereka.

Sementara masih di area Taman Fatahillah tepatnya di depan Museum Sejarah Jakarta, puluhan anak muda menyaksikan penampilan sejumlah grup musik yang juga memeriahkan BAF 2008. Di kanan-kiri panggung terdapat ornamen-ornamen Betawi yang warna-warni, sedangkan di bagian tengah panggung para personil band tengah beraksi.

Acara BAF merupakan kegiatan rutin yang digelar Museum Sejarah Jakarta dalam rangka memeriahkan Ulang Tahun Jakarta yang jatuh setiap tanggal 22 Juni. BAF berlangsung mulai tahun 2002 dan tahun ini telah memasuki penyelenggaraan yang ke-10.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Sejarah Jakarta Dinas Pariwisata dan Permuseuman DKI Jakarta, MR Manik mengatakan BAF bertujuan untuk memberikan nuansa pesta ulang tahun yang berbeda, tidak sekedar berhura-hura, tetapi juga mengandung unsur edukatif, rekreatif, dan atraktif, serta sesuai untuk semua kalangan dan latar belakang.

Dari tahun ke tahun acara ini semakin meriah dan dipenuhi warga Jakarta yang ingin menikmati berbagai acara. Saya berterima kasih pada segenap warga di sekitar kawasan Kota Tua karena telah mampu menjaga suasana tetap aman dan nyaman sehingga dapat dikunjungi banyak roang seperti sekarang, katanya dalam sambutan pembukaan acara.

BAF berlangsung di Taman Fatahillah sejak pukul 10.00 WIB. Sejauh mata memandang ke arah taman, yang terlihat adalah kumpulan tenda-tenda yang ramai dengan kerumunan orang.

Tenda-tenda itu berjajar berdasarkan nama kampung masing-masing, kata Atik, staf Museum Sejarah Jakarta.

Atik mengatakan ada lima kampung yang menyajikan berbagai pameran dan aktivitas yang dapat diikuti para pengunjung. Kampung tersebut adalah Kampung Museum, Kampung Seni, Kampung Kerajinan, Kampung Kuliner, dan Kampung Hobi.

Semua kampung terlihat dipadati pengunjung, terutama di Kampung Kuliner yang menjajakan beragam menu khas Betawi seperti Asinan Betawi, Laksa Betawi, gado-gado, kerak telor, aneka jajanan pasar, dan soto mie.

Di beberapa area Taman Fatahillah yang kosong, sejumlah anak-anak muda melakukan street art seperti pembacaan puisi, atraksi sepeda BMX, dan kegiatan belajar membatik, melukis, dan membuat perabot dari kertas daur ulang.

Pada pukul 16.00 WIB acara dilanjutkan dengan pertunjukan musik dari Oriental Orchestra, NEO, O2, serta layar tancap yang memutar film Fatahillah dan Si Ronda Macan Betawi. Acara ini berlangsung hingga malam hari dan ditutup dengan pesta kembang api.

Nyai-nyai Beken di Batavia

Rabu, 29 April 2009 | 12:00 WIB
Laporan wartawan WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

KOMPAS.com — Sejak Jan Pieterszoon Coen mulai mendirikan kastil di pinggiran Sungai Ciliwung untuk kemudian membangun kota bernama Batavia di awal abad ke-17, sejak itulah keberadaan budak mulai tumbuh. Semula hanya digunakan sebagai tenaga kerja. Namun, kemudian budak menjadi penakar status sosial bagi pejabat VOC. Maka sistem perdagangan budak pun berkembang, calo budak pun menjamur.

Keberadaan budak perempuan ikut menghidupkan, bahkan menyuburkan, praktik kumpul kebo di Batavia. Seperti sudah pernah ditulis sebelumnya, sistem pergundikan jadi cikal bakal prostitusi. Kasus cinta gelap serta dunia per-nyai-an muncul dan terus berkembang.

Thomas B Ataladjar dalam Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di tepian Muara Ciliwung menyebutkan, kata nyai berkonotasi lain di masa kompeni, khususnya di zaman para meneer kumpeni berkuasa karena punya arti gundik, selir, atau wanita peliharaan pria Belanda. Keadaan itu terjadi karena sebagai serdadu mereka tak bisa membawa serta istri atau memang masih bujangan. Tatkala hubungan cinta terjalin antara perempuan pribumi dengan pria Belanda maka perempuan itu hanya akan jadi gundik alias nyai.

Ternyata, penggemar samen leven dengan nyai tak sedikit, malah jadi tren kumpeni. Kehidupan para nyai bahkan menjadi kisah tersendiri dalam sejarah kota dan bangsa ini. Kisah yang paling lazim kita dengar adalah Nyai Dasima, sebuah kisah populer di kalangan warga Betawi. Perempuan asal Ciseeng, Bogor, ini hidup di antara tahun 1805-1830 dan menjadi gundik meneer Edward William.

Perjalanan hidup dan cinta Dasima direkam dalam buku yang ditulis oleh SM Ardan. Edward ternyata hanya memerlukan Dasima di kamar saja, maka ketika kemudian muncul seorang pria, Samiun, yang bersedia menikahinya, Dasima pun meninggalkan Edward. Ternyata, Samiun hanya ingin menggerogoti harta Dasima. Nyawa Dasima habis di tangan Bang Puasa atas perintah Samiun. Mayatnya ditemukan di sekitar kali di Kwitang.

Nyai Dasima versi G Francis melukiskan, selain Edward, semua lakon bertabiat buruk. Kisah dibikin agar pembaca mendapat kesan negatif tentang masyarakat Betawi. Maklum saja, versi ini adalah versi kolonial.

Selain Nyai Dasima, ada nyai lain yang juga bernasib tragis, Mariam. Ia gundik sinyo Belanda, John. Cinta sembunyi-sembunyi antara Mariam dan John akhirnya terputus dengan adanya Husin. Husin, tukang sado, semula hanya menolong Mariam dengan berpura-pura mengawini Mariam agar hubungan dengan cowok bule tak terendus sang ayah.

Namun, pernikahan itu ternyata malah membakar api cemburu di hati John. Tak tanggung-tanggung, Husin dan Mariam pun ditangkap serdadu kompeni. Mayat Mariam ditemukan di sekitar jembatan Ancol.

Musikal Cinta Dasima untuk Lestarikan Budaya Betawi

Jumat, 15 Mei 2009 | 11:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Puluhan mantan abang dan none DKI yang tergabung dalam Ikatan Abang dan None dari Jakarta Utara, bekerja sama dengan Peqho Teater, menggelar sandiwara musikal Betawi Cinta Dasima di Gedung Kesenian Jakarta pada 16-17 Mei 2009.

Kegiatan ini merupakan salah satu upaya dalam melestarikan budaya Betawi, kata Maudy Koesnadi, produser sandiwara musikal Cinta Dasima, di Jakarta, Kamis.

Sandiwara musikal Cinta Dasima dibuat sedemikian rupa, tetapi dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan kostum para pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya dikemas lebih modern, katanya.

Maudy bersama 50 kawan-kawannya finalis abang dan none itu menggelar sandiwara musikal Betawi Cinta Dasima sebagai terobosan agar memberikan peran yang lebih berarti atas keberadaan mereka.

Selama ini masyarakat cenderung menganggap mereka hanya menjadi pendamping Gubernur DKI Jakarta dalam setiap acara protokoler.

Padahal selain mengisi acara protokoler Pemda, kata Maudy, abang dan none Jakarta juga memiliki peran dalam menjaga dan mempertahankan budaya Betawi.

Budaya Betawi yang ditayangkan melalui sandiwara musikal Betawi Cinta Dasima itu dilakukan dengan berbiaya minim hanya mengandalkan semangat teman-teman yang berlatih sembilan bulan lebih, katanya.

Namun, mereka diajak untuk mengenal dunia panggung dan dapat bekerja secara profesional.

Maudy Koesnaedi yang memenangi pemilihan None Jakarta 1993 itu mengatakan, sandiwara yang disutradari Aji NA ini mengangkat karya sastra Gijsbert Francis yang berjudul Nyai Dasima.

Selain Maudy sebagai pemeran utama, sejumlah pemain yang juga dilibatkan adalah Saipul Jamil, Ussy Sulistiawati, Gunawan, dan Tike Priatnakusumah.

Sandiwara itu dikemas bermula dari upaya untuk memberikan nilai tambah bagi finalis Abang None Jakarta Utara.

Sebagai finalis bukan berarti seusai pemilihan tidak ada rasa tanggung jawab lagi untuk mengembangkan budaya Betawi, katanya.

Pertunjukan yang akan memakan waktu dua jam ini akan menampilkan busana-busana Eropa yang dibuat secara khusus oleh desainer, Raden Sirait, yang sudah menyiapkan sebanyak 30 gaun.

Busana-busana tersebut ini akan dikenakan saat adegan pesta untuk putri Dasima, yang lahir dari pernikahannya dengan pejabat Inggris, Edward Williams.